Nanoteknologi, Antara Impian dan Kenyataan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara-negara maju di dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Kanada dan negara-negara Eropa, serta beberapa negara Asia, seperti Singapura, Cina, dan Korea tengah giat-giatnya mengembangkan suatu cabang baru teknologi yang populer disebut Nanoteknologi. Milyaran dollar dana mulai dikucurkan di negara-negara ini, di berbagai bidang penelitian. Semuanya berlomba-lomba menggunakan kata kunci Nanoteknologi. Sebenarnya apa itu nanoteknologi? Dan mengapakah begitu banyak peneliti di berbagai negara berlomba-lomba memasuki bidang yang satu ini? Seberapa luaskah ruang lingkupnya? Mengapakah baru beberapa tahun ini terjadi boom nanoteknologi?



Sesuai dengan namanya, nanoteknologi adalah teknologi pada skala nanometer, atau sepersemilyar meter. Untuk dapat membayangkan dimensi nanometer, bisa kita ambil contoh dari tubuh kita sendiri.

Sehelai rambut manusia kira-kira memiliki diameter 50 mikrometer. Satu mikrometer sendiri adalah seperseribu milimeter. Dan satu milimeter adalah ukuran satuan panjang terkecil pada penggaris tulis 30 cm yang biasa dipakai anak-anak sekolah. Dan satu nanometer adalah seperseribu mikrometer, atau kira-kira sama dengan diameter rambut kita yang telah dibelah 50.000 kali!! Sebagai perbandingan lain, ukuran sel darah merah kita adalah sekitar 20 mikro meter, dan sel bakteri perut adalah 2 mikro meter. Protein memiliki ukuran beberapa puluh nanometer.

Dari sudut pandang ukuran atas ke bawah (top-down) seperti itu, nanoteknologi menjadi penting dalam dunia rekayasa karena manusia berusaha untuk mengintegrasikan suatu fungsi atau kerja dalam skala ukuran yang lebih kecil dan lebih kecil. Mengapa? Orang bilang, "small is beautiful (kecil itu indah)", tetapi, tentu saja mengintegrasikan suatu fungsi mesin atau perkakas dalam ukuran yang lebih kecil bukan hanya berarti memperindahnya tapi juga berarti memperkecil energi yang diperlukan per suatu fungsi kerja dan berarti pula mempercepat proses serta mempermurah biaya pekerjaan. Sebagai contoh yang mudah kita pahami adalah apa yang terjadi pada dunia komputer dan mikroprosesor. Pabrik-pabrik mikroprosesor seperti IBM, Intel dan Motorola terus berusaha mempertinggi tingkat integrasi mikroprosesornya.

Sekira sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu, jarak antar gate (gerbang) MOS (Semikonduktor oksida logam) adalah 0,75 m, dan level integrasinya pada 5P 80386 hingga 80486 adalah sekira 100.000 sampai 1 juta transistor dalam satu chip. Tapi, pada Pentium IV, teknologi pemrosesan IC (rangkaian terintegrasi) yang dipakai telah berhasil memperkecil jarak antar gerbang menjadi hanya 0,125 m dan mencapai level integrasi hingga 100 juta transistor dalam satu keping chip.

Jarak yang lebih kecil antar gerbang berarti makin kecilnya waktu yang diperlukan untuk perjalanan suatu elektron (artinya switching rate makin cepat) dan berarti pula makin kecilnya daya yang diperlukan prosesor tersebut. Lebih dari itu, makin banyak fungsi yang bisa diintegrasikan dalam prosesor tersebut, seperti built-in multimedia, pemrosesan suara, dan lain sebagainya.



Selain itu, teknologi pemrosesan IC ini mulai digunakan pula untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi mekanik dan elektrik untuk membuat mesin, sensor atau aktuator pada ukuran milli, mikro, hingga nanometer. Struktur mikro yang mengintegrasikan fungsi mekanik dan elektrik inilah yang biasa disebut Micro Electro Mechanical System (MEMS). Sebagai contoh teknologi MEMS memungkinkan pembuatan array sensor tekanan yang berukuran demikian kecil (Gambar 1) hingga dapat ditaruh di mana saja di suatu struktur bangunan atau mesin, misalnya.

Namun, apakah nanoteknologi hanya berkutat dengan rekayasa IC dan mikroelektronika yang kemudian diterapkan pula untuk mikromekanika? Jika hanya demikian apakah perlunya terminologi ini demikian digembar-gemborkan akhir-;akhir ini?

Ternyata memang nanoteknologi yang kini tengah booming tidak hanya terkait dengan rekayasa konvensional top-down IC atau MEMS. Semuanya ini bermula dari pidato ilmiah pemenang Nobel, Richard Feynman tahun 1959, yang berjudul "There is plenty room at the bottom" (Ada banyak ruang di bawah), yang kini banyak dikutip para peminat nanoteknologi.

Saat itu Feynman mengatakan, adalah mungkin (setidaknya saat itu masih dalam impian) untuk membuat suatu mesin dalam ukuran demikian kecil, yang kemudian dapat digunakan untuk memanipulasi material pada skala ukuran tersebut. Bahkan, saat itu Feynman menyatakan pula, seandainya seorang fisikawan dibekali "mesin" yang tepat untuk memanipulasi atom dan menaruhnya pada tempat yang sesuai, maka ia secara teoritis dapat membuat senyawa atau molekul apa saja, tentu saja yang stabil energinya (stabil = level energi minimum).

Sistem seperti itu, sekalipun bukan pada level atom, setidaknya telah ada di alam, sebagaimana telah ditulis pula oleh K. Eric Drexler dalam landmark papernya tahun 1981, dan mengenalkan istilah molecular manufacturing (manufaktur molekular). Dalam karya tulisnya tersebut, Drexler memberikan beberapa contoh, betapa mesin-mesin berukuran nanometer telah ada di alam dan bagaimana mereka telah terlibat dalam penyusunan molekul dan informasi dalam sel makhluk hidup. Misalnya, ribosom yang menyusun asam amino satu demi satu berdasarkan informasi RNA, untuk memfabrikasi protein, kemudian sistem genetika (enzim-enzim DNA polymerase, RNA polymerase, dll) yang menyimpan dan mengolah informasi genetik, flagella (semacam struktur 'rambut') pada bakteria sebagai motor penggerak, dan lain sebagainya.

Kemampuan untuk memanipulasi material pada skala nanometer adalah penting, sebab pada skala ukuran inilah material mulai membentuk sifat-sifat tertentu berdasarkan strukturnya. Pada level yang lebih kecil, level atomik (skala Angstrom), sifat yang dimiliki adalah sifat dasar atom itu sendiri. Ketika atom mulai bergandeng satu sama lain dan menyusun struktur molekular tertentu, sifatnya pun akan berbeda menurut struktur tersebut. Misalnya, atom Karbon (C), yang ketika tersusun dalam struktur tetrahedron tiga dimensi akan membentuk intan yang keras, tetapi ketika tersusun dalam struktur heksagonal dua dimensi dan membentuk lapisan-lapisan, maka yang kita dapati adalah grafit (bahan baku pensil) yang rapuh.



Nanoteknologi manufaktur molekular diarahkan pada pengembangan metoda (misal berupa 'mesin' berukuran nanometer) yang dapat melakukan penyusunan atom atau molekul komponen tersebut secara teratur dan terkendali untuk membentuk struktur yang diinginkan. Model fabrikasi material bawah ke atas (bottom-up) yang berlawanan dengan teknologi top-down konvensional seperti ini akan memungkinan pengontrolan yang amat presisi sifat material yang terbentuk (misalnya bebas defek/cacat).

Selain itu mengurangi timbulnya limbah saat fabrikasi karena hanya atom/molekul yang akan dipakai saja yang dimanipulasi (berbeda dengan metode atas-bawah yang kerap menimbulkan limbah akibat adanya material yang tak terpakai), dan tentu saja kemungkinan penghematan energi yang juga berarti penghematan biaya. Sistem fotosintesis pada tanaman misalnya adalah suatu contoh sistem manufaktur molekular dengan efisiensi energi yang tinggi.

Masalahnya kemudian, bagaimanakah komponen atom atau molekul tersebut dapat disusun? Seperti juga pendekatan ribosom pada sel, Drexler mengusulkan dibuatnya "lengan-lengan" robot dan komponen mesin lainnya berukuran nano yang memungkinkan untuk melakukan proses-proses layaknya fabrikasi pada level makro: sortir material, konversi energi, penempatan material, dll.

Metode ini disebut Mekanosintesis, melakukan sintesis kimia secara mekanis. Beberapa struktur mesin ukuran nano (yang dibentuk dari beberapa ribu hingga juta atom) telah berhasil disimulasi dengan komputer, yang berarti secara matematis dan fisis mungkin untuk dibuat. Sebagai contoh adalah dinding ruang berisi bahan material dan rotor pompa yang berfungsi memilih secara selektif atom Neon (Ne) untuk siap dipakai pada proses selanjutnya (Gambar 2).

Masalah berikutnya, seandainya struktur seperti itu memang "mungkin" (baca: stabil secara termodinamis) untuk dibuat, bagaimanakah proses untuk membuat struktur-struktur awal yang akan digunakan sebagai mesin-mesin untuk fabrikasi nano berikutnya? Dan dari manakah energi penggerak mulanya?

Beberapa alternatif telah mulai diusulkan dicoba untuk mengatasi masalah pertama. Nadrian Seeman mencoba untuk membuat struktur-struktur dasar tersebut dari molekul DNA (asam deoksiribonukleat, senyawa dasar gen) dengan mengandalkan sifat swa-rakit (self-assembly) dari DNA, yaitu Adenin berikatan dengan Thymin dan Guanin berikatan dengan Cytosin.

Dengan mensintesis DNA dengan deret tertentu, Seeman berhasil membuat bentuk-bentuk dasar kubus dan devais nanomekanik DNA. Peneliti lain di NASA Ames Research Center mensimulasi penggunaan Tabung Nano Karbon (suatu struktur atom karbon berbentuk tabung berdimensi nanometer yang disintesis dengan prinsip swa-rakit dari karbon, menggunakan katalis logam tertentu) untuk membentuk gir dan poros mesin. Struktur gir atau poros bisa dibuat dari tabung nano karbon dengan reaksi kimia tertentu untuk "menempatkan" gugus molekul kimia berbentuk roda (misal benzena) di sekeliling tabung (Gambar 3).

Cara lain untuk menyusun komponen atom atau molekul pada tahap awal ini adalah dengan menggunakan instrumen nanoteknologi, seperti Mikroskop Gaya Atom (Atomic Force Microscope, AFM), dan Mikroskop Pemindaian Terobosan Elektron (Scanning Tunneling Microscope, STM). Prinsip dasar kedua mikroskop tersebut adalah seperti menggerakkan "tangan peraba" dalam koordinat x-y, sambil mempertahankan jarak (koordinat z) antara "tangan peraba" dengan sampel yang dipelajari (Gambar 4).

Disebut "tangan peraba" karena memang mikroskop-mikroskop ini tidak lagi memakai cahaya sebagai alat pencitraan akibat keterbatasan cahaya pada skala nanometer (adanya efek difraksi cahaya). AFM mendeteksi gaya non kovalen (non ikatan kimia, seperti gaya elektrostatik dan gaya Van der Waals) antara sampel dengan "tangan peraba", sedangkan STM mendeteksi terobosan elektron dari "tangan peraba" yang menembus sampel dan diterima suatu detektor di bawah sampel.



Mula-mula memang instrumen-instrumen ini terbatas hanya digunakan untuk keperluan karakterisasi atau 'pencitraan' sampel. Tapi, belakangan ini, mulai pula digunakan untuk memanipulasi molekul dan atom. Dengan mengubah besar arus terobosan pada STM misalnya, kita bisa mengambil atom O dan mereaksikannya dengan molekul CO untuk membentuk molekul CO2 dan semuanya ini dilakukan dengan presisi molekul tunggal. Pada reaksi kimia biasa, diperlukan cukup banyak komponen molekul yang bereaksi untuk memungkinkan, secara statistik, terjadinya "tumbukan" antar molekul tersebut.

Berkenaan dengan masalah suplai energi struktur mesin pada skala nano, Prof. Montemagno di University of California at Los Angeles telah berhasil mencoba menggunakan bio-nanomotor alami F1-ATPase untuk menggerakkan propeler yang dibuat dengan teknologi MEMS. Bernard Yurke di Bell Labs. menggunakan DNA untuk mencoba membuat nano-motor.

Alternatif lain yang mungkin adalah mengkombinasikan nanoteknologi atas-bawah MEMS dengan nanoteknologi bawah-atas. Motor elektrik dan pembangkit energi (misal baterai lapisan tipis) pada skala mikrometer dengan teknologi MEMS telah banyak dilaporkan. Berikutnya tinggal mentransmisikan gerak dari motor tersebut ke struktur "lengan" robot pada skala yang lebih kecil - nanometer.

Impian nanoteknologi untuk dapat memanipulasi bahan dengan tingkat fleksibilitas sama dengan yang telah dicapai manusia dalam memanipulasi data dengan teknologi informasi, mungkin masih terasa jauh dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Namun, dalam perkembangannya yang masih muda saat ini pun, nanoteknologi telah memberikan warna baru dalam bidang-bidang lain.

Penerapan nanoteknologi dalam bioteknologi analitis misalnya memungkinkan metode-metode baru yang jauh lebih sensitif dan stabil dibandingkan metode konvensional. Perkembangan MEMS, yang sekalipun berangkat dari teknologi konvensional IC, masih berlangsung demikian pesat, dengan adanya aplikasi-aplikasi baru dalam optik (muncul MOEMS - Micro Optical Electro Mechanical System), dalam sistem sensor terintegrasi nir-kawat, dan juga dalam aplikasi RF (Radio Frequency)-MEMS.

Pada pengembangan nanoteknologi inilah demikian terasa, betapa latar belakang ilmu dan teknologi yang multi disiplin sangat diperlukan: matematika untuk pemodelan, fisika untuk pemahaman fenomena-fenomena gaya dan energi, kimia (anorganik maupun organik) untuk pemahaman sifat material, serta biologi untuk pembelajaran sistem-sistem rekayasa pada makhluk hidup.

Selain itu kreativitas dan daya kreasi yang tinggi sangat diperlukan untuk menemukan terobosan teknik dan metoda baru, serta aplikasi yang cocok. Tentu saja keluhuran moral dan agama tetap diperlukan agar penerapan teknologi ini tidak malah merugikan keberlangsungan hidup ummat manusia.

Eropa Telah Menyatakan Perang terhadap Islam dan Al Qur’an

Menyusul keputusan Dewan Eropa baru-baru ini tentang larangan pengajaran fakta Penciptaan di sekolah-sekolah, pokok persoalan kedua yang bergulir dalam rencana adalah putusan Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR) pada tanggal 9 Oktober bahwa pelajaran agama di sekolah-sekolah Turki adalah pelanggaran terhadap hak pendidikan. Dengan putusan ini, beragam pengubahan perlu dilakukan terhadap cara pengajaran agama di sekolah-sekolah Turki dan, menurut ECHR, bahkan pelajaran agama dengan cara bagaimanapun perlu dicegah.

Pada kenyataannya, pengubahan yang dimaksudkan di sini tidak memiliki tujuan selain menghapuskan sama sekali pendidikan agama, untuk memalingkan generasi muda dari keimanan kepada Allah (Tuhan) dan menanamkan pola pikir materialis dalam diri mereka. Keputusan melarang pengajaran Paham Penciptaan di sekolah-sekolah berdasarkan keputusan Dewan Eropa yang diambil di awal Oktober memiliki tujuan yang sama. Kenyataan bahwa laporan yang dimaksud tersebut menetapkan bahwa hanya teori evolusi yang seharusnya diizinkan di kurikulum dengan jelas menyingkap kekhawatiran bahwa para siswa yang belajar tentang fakta Penciptaan tidak akan tumbuh menjadi materialis. Inilah mengapa Paham Penciptaan telah digambarkan sebagai ancaman bagi Eropa dan keputusan di atas telah diambil. Keadaan yang sama berlaku pada pelajaran agama yang saat ini diberikan di Turki. Khawatir terhadap para siswa yang belajar tentang Islam dan meninggalkan pemikiran materialisme, Eropa saat ini telah menganjurkan dihentikannya pelajaran agama di sekolah-sekolah dengan beragam alasan. Upaya Eropa adalah jelas: menyatakan perang terhadap iman kepada Allah dan Islam.

Tidak ada keraguan bahwa alasan bagi semua ini adalah pembongkaran rahasia ke seluruh dunia bahwa Darwinisme, dan materialisme pendukungnya, keduanya adalah penipuan. Kalangan Darwinis dan materialis telah dilanda ketakutan di hadapan karya Harun Yahya Atlas Penciptaan, yang menunjukkan bahwa makhluk-makhluk hidup masa kini sama persis dengan nenek moyang mereka yang hidup di masa lalu. Mereka sadar bahwa mereka takkan mampu lagi menyebarluaskan penipuan itu sebagaimana telah mereka lakukan selama 150 tahun terakhir. Dunia kini telah menyaksikan bahwa teori evolusi Darwin adalah kebohongan yang sangat buruk. Filsafat materialis, yang mendorong ketiadaan agama, kini sedang berada keadaan sekarat dan di abad ke-21 umat manusia akan terbebaskan dari penipuan semacam itu, insya Allah, dan kembali pada tujuan hakiki penciptaannya. Takut dan terkejut oleh kenyataan ini, kalangan Darwinis-materialis kini tengah berupaya mengambil tindak pencegahan melawan perkembangan luar biasa ini. Tapi apa yang tamat, adalah tamat dan seluruh dunia kini tahu tentang penipuan Darwinis. Siswa sekolah kini sedang melancarkan serangan mereka sendiri melawan Darwinisme dan menolak mempelajari penipuan ini.

Apa yang diinginkan kalangan Darwinis-materialis adalah membangun masyarakat tanpa agama, tanpa sedikit pun keimanan kepada Allah. Namun kenyataannya, masyarakat tanpa agama akan semakin mendorong kemerosotan akhlak, meningkatkan peperangan, pembantaian dan pemberontakan yang mengiringi ketiadaan agama, dan menimpakan bencana bagi seluruh umat manusia. Apa yang perlu dilakukan adalah mendorong orang, khususnya kaum muda, untuk mengikuti nilai-nilai ajaran agama daripada memalingkan mereka dari agama dan menganjurkan filsafat materialis.

Alasan ketakutan yang dialami kalangan Darwinis Eropa sangatlah jelas: Mereka telah menyadari bahwa Penciptaan adalah kenyataan satu-satunya, yang kini telah diketahui seluruh dunia. Mereka membayangkan bahwa mereka mampu menghentikan perkembangan ini dengan melarang pelajaran agama dan menghilangkan Paham Penciptaan dari kurikulum. Mereka yakin mereka akan menang dalam peperangan yang mereka lancarkan melawan iman kepada Allah. (Sudah pasti Allah tak terkalahkan.) Mereka ingin yakin bahwa Darwinisme akan dianut dan diterima, meskipun mereka sangat tahu bahwa ini tidak akan pernah terjadi. Agama keliru atau kebohongan yang dibuat melawan iman kepada Allah tidak memiliki jalan bertahan hidup. Allah Yang Mahakuasa mengungkapkan hal senada dalam ayat-ayat-Nya:

Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu menyifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya). (QS. Al Anbiyaa’, 21:18)

Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. (QS. Ar Ra’d, 13:17)

Dengan keruntuhan pasti Darwinisme, pengaruh Darwinis banyak melemah dibandingkan sebelumnya. Berkembangnya nilai-nilai ajaran Islam adalah janji Allah dan akan, dengan izin-Nya, menjadi kenyataan. Isyarat-isyarat ini dapat disaksikan di seluruh dunia. Agama hak-Nya, dengan kehendak-Nya, telah menang. Kaum Darwinis tidak lagi mampu menyesatkan manusia. Permusuhan Eropa terhadap Islam tidak akan mengubah apa pun. Dengan izin Allah, sebagaimana halnya dengan setiap pemikiran menyimpang yang pernah melawan nilai-nilai ajaran Islam, serangan balik yang terkini ini, juga, hanya akan semakin menguatkan agama Islam.

Globalisasi dan Indonesia 2030

Abad ke-21 adalah abad milik Asia. Pada tahun 2050 separuh lebih produk nasional bruto dunia bakal dikuasai Asia. China, menggusur Amerika Serikat, akan menjadi pemain terkuat dunia, diikuti India di posisi ketiga. Lalu, apa peran dan di mana posisi Indonesia waktu itu?

China dan India dengan segala ekspansinya, berdasarkan sejumlah parameter saat ini dan prediksi ke depan, sudah jelas adalah pemenang dalam medan pertarungan terbuka dunia di era globalisasi, di mana tidak ada lagi sekat-sekat bukan saja bagi pergerakan informasi, modal, barang, jasa, manusia, tetapi juga ideologi dan nasionalisme negara.

Globalisasi ekonomi dan globalisasi korporasi juga memunculkan barisan korporasi dan individu pemain global baru. Lima tahun lalu, 51 dari 100 kekuatan ekonomi terbesar sudah bukan lagi ada di tangan negara atau teritori, tetapi di tangan korporasi.

Pendapatan WalMart, jaringan perusahaan ritel AS, pada tahun 2001 sudah melampaui produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebagai negara. Penerimaan perusahaan minyak Royal Dutch Shell melampaui PDB Venezuela, salah satu anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang berpengaruh.

Pendapatan perusahaan mobil nomor satu dunia dari AS, General Motor, kira-kira sama dengan kombinasi PDB tiga negara: Selandia Baru, Irlandia, dan Hongaria. Perusahaan transnasional (TNCs) terbesar dunia, General Electric, menguasai aset 647,483 miliar dollar AS atau hampir tiga kali lipat PDB Indonesia.

Begitu besar kekuatan uang dan pengaruh yang dimiliki korporasi-korporasi ini sehingga mampu mengendalikan pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan dan menentukan arah pergerakan perdagangan dan perekonomian global.

Pada awal dekade 1990-an terdapat 37.000 TNCs dengan sekitar 170.000 perusahaan afiliasi yang tersebar di seluruh dunia. Tahun 2004 jumlah TNCs meningkat menjadi sekitar 70.000 dengan total afiliasi 690.000. Sekitar 75 persen TNCs ini berbasis di Amerika Utara, Eropa Barat, serta Jepang, dan 99 dari 100 TNCs terbesar juga dari negara maju.

Namun, belakangan pemain kelas dunia dari negara berkembang, terutama Asia, mulai menyembul di sana-sini. Dalam daftar 100 TNCs nonfinansial terbesar dunia (dari sisi aset) versi World Investment Report 2005, ada nama seperti Hutchison Whampoa Limited (urutan 16) dari Hongkong, Singtel Ltd (66) dari Singapura, Petronas (72) dari Malaysia, dan Samsung (99) dari Korea Selatan.

Sementara dalam daftar 50 TNCs finansial terbesar dunia, ada tiga wakil dari China, yakni Industrial & Commercial Bank of China (urutan 23), Bank of China (34), dan China Construction Bank (39).

Lompatan besar

Menurut data United Nations Conference on Trade and Development, pada tahun 2004 China adalah eksportir terbesar ketiga di dunia untuk barang (merchandise goods) dan kesembilan terbesar untuk jasa komersial, dengan pangsa 9 dan 2,8 persen dari total ekspor dunia.

Volume ekspor China mencapai 325 miliar dollar AS tahun 2002 dan tahun lalu 764 miliar dollar AS. Manufaktur menyumbang 39 persen PDB China. Output manufaktur China tahun 2003 adalah ketiga terbesar setelah AS dan Jepang. Di sektor jasa, China yang terbesar kesembilan setelah AS, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Kanada, dan Spanyol.

Sementara India peringkat ke-20 eksportir merchandise goods (1,1 persen) dan peringkat ke-22 untuk jasa komersial (1,5 persen). Produk nasional bruto (GNP) China tahun 2050 diperkirakan 175 persen dari GNP AS, sementara GNP India sudah akan menyamai AS dan menjadikannya perekonomian terbesar ketiga dunia, mengalahkan Uni Eropa dan Jepang.

Ketika China membuka diri pada dunia dua dekade lalu, orang hanya membayangkan potensi China sebagai pasar raksasa dengan lebih dari semiliar konsumen sehingga sangat menarik bagi perusahaan ritel dan manufaktur dunia. Belakangan, China bukan hanya menarik dan berkembang sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi berbagai produk manufaktur untuk memasok pasar global. China awal abad ke-21 ini seperti Inggris abad ke-19 lalu.

China tidak berhenti hanya sampai di sini. Jika pada awal 1990-an hanya dipandang sebagai lokasi menarik untuk basis produksi produk padat karya sederhana, dewasa ini China membuktikan juga kompetitif dalam berbagai industri berteknologi maju. Masuknya China dalam keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin melapangkan jalan bagi negeri Tirai Bambu ini untuk menjadi kekuatan yang semakin sulit ditandingi di pasar global.

Di sektor padat karya, seperti tekstil dan pakaian jadi, diakhirinya rezim kuota di negara-negara maju membuat ekspor China membanjiri pasar dunia dan membuat banyak industri tekstil dan pakaian jadi di sejumlah negara berkembang pesaing harus tutup. Pangsa ekspor pakaian dari China diperkirakan akan melonjak dari sekitar 17 persen dari total ekspor dunia saat ini menjadi 45 persen pada paruh kedua dekade ini.

Hal serupa terjadi pada produk-produk berteknologi tinggi. Bagaimana China menginvasi dan membanjiri pasar global dengan produk-produknya, dengan menggusur negara-negara pesaing, bisa dilihat dari data WTO berikut.

Pangsa China di pasar elektronik AS meningkat dari 9,5 persen (tahun 1992) menjadi 21,8 persen (1999). Sementara pada saat yang sama, pangsa Singapura turun dari 21,8 persen menjadi 13,4 persen. Kontribusi China terhadap produksi personal computer dunia naik dari 4 persen (1996) menjadi 21 persen (2000), sementara kontribusi ASEAN secara keseluruhan pada kurun waktu yang sama menciut dari 17 persen menjadi 6 persen.

Pangsa China terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 persen (1996) menjadi 6 persen (2000), sementara pangsa ASEAN turun dari 83 persen menjadi 77 persen. Pangsa China untuk produksi keyboard naik dari 18 persen (1996) menjadi 38 persen (2000), sementara pangsa ASEAN tergerus dari 57 persen menjadi 42 persen.

Semua gambaran itu jelas memperlihatkan China terus naik kelas, membuat lompatan besar dari waktu ke waktu, dan pada saat yang sama terus memperluas diversifikasi produk dan pasarnya. Gerakan sapu bersih China di berbagai macam industri—mulai dari yang berintensitas teknologi sangat sederhana hingga intensitas teknologi dan nilai tambah sangat tinggi—ini semakin mempertegas posisi China sebagai the world’s factory memasuki abad ke-21.

Sementara pada saat yang sama, negara-negara tetangganya justru mengalami hollowing out di industri manufaktur berteknologi tinggi dengan cepat. Di industri berintensitas teknologi rendah yang cenderung padat karya, China menekan negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia yang basis industrinya masih sempit, yakni teknologi yang tidak terlalu complicated dan bernilai tambah rendah.

Sementara di industri yang berintensitas teknologi tinggi, China semakin menjadi ancaman tidak saja bagi negara seperti Taiwan dan Korsel, tetapi juga AS dan Jepang. China tidak hanya membanjiri dunia dengan garmen, sepatu, dan mainan, tetapi juga produk-produk komputer, kamera, televisi, dan sebagainya.

China memasok 50 persen lebih produksi kamera dunia, 30 persen penyejuk udara (air conditioners/AC), 30 persen televisi, 25 persen mesin cuci, 20 persen lemari pendingin, dan masih banyak lagi.

Inovasi

Bagaimana China bisa melakukan itu semua? Ada beberapa faktor. Pertama, perusahaan-perusahaan teknologi asing, menurut Deloitte Research, sekarang ini berebut masuk untuk investasi di China, antara lain agar bisa memanfaatkan akses ke pasar China yang sangat besar dan bertumbuh dengan cepat. Kedua, perusahaan-perusahaan lokal yang menarik modal dari investor China di luar negeri (terutama Taiwan) juga semakin terampil memproduksi barang-barang berteknologi tinggi.

Tidak statis di industri padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, China kini mulai lebih selektif menggiring investasi ke industri yang menghasilkan high end products dan padat modal. Ini antara lain untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja murah yang mulai berkurang ketersediaannya.

Ketiga, perguruan-perguruan tinggi di China mampu mencetak barisan insinyur baru dalam jumlah besar setiap tahunnya, dengan upah yang tentu relatif murah dibandingkan jika menyewa insinyur asing. Setiap tahun, negara ini menghasilkan 2 juta-2,5 juta sarjana, dengan 60 persennya dari jurusan teknologi (insinyur). Sebagai perbandingan, di Indonesia lulusan jurusan teknologi hanya 18 persen, AS 25 persen, dan India 50 persen.

Untuk mendukung pertumbuhan industri teknologi tinggi padat modal yang menghasilkan high end products, pemerintahan China juga sangat agresif mendorong berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), sejalan dengan ambisinya menjadi The Fastest Growing Innovation Centre of the World, dengan tahapan, strategi, dan implementasi yang sangat jelas untuk sampai ke sana.

Hampir di setiap ibu kota provinsi ada R&D centre-nya. Positioning strategy ini mengindikasikan China mulai masuk babak kedua dalam pembangunan ekonominya.

Ketiga, negara ini relatif memiliki infrastruktur yang sangat bagus untuk mengangkut komponen dan barang dari luar dan juga di seluruh penjuru negeri. China, dengan 1,3 miliar penduduk, memiliki 88.775 kilometer jalan arteri dan 100.000 kilometer jalan tol, atau rasio panjang jalan per sejuta penduduk 1.384 kilometer.

Sebagai perbandingan, Indonesia dengan 220 juta penduduk baru memiliki jalan arteri 26.000 kilometer dan jalan tol 620 kilometer (121 kilometer per sejuta penduduk). Itu pun sebagian besar dalam kondisi rusak. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah mampu melayani seperlima volume kontainer dunia dan negara ini terus membangun jalan-jalan tol dan pelabuhan-pelabuhan baru.

Keempat, kebijakan pemerintah yang sangat mendukung, termasuk perizinan investasi, perpajakan, dan kepabeanan. Kelima, pembangunan zona-zona ekonomi khusus (20 zona) sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sehingga perkembangan ekonomi bisa lebih terfokus dan pembangunan infrastruktur juga lebih efisien.

Hasilnya, tahun 2004 China berhasil menarik investasi langsung asing 60,6 miliar dollar AS dan 500 perusahaan terbesar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di sana. Bagaimana kompetitifnya China bisa dilihat di tabel. Di sini kelihatan China sudah memperhitungkan segala aspek untuk bisa bersaing dan merebut abad ke-21 dalam genggamannya.

Hal serupa terjadi pada India yang mengalami pertumbuhan pesat sejak program liberalisasi dengan membongkar ”License raj" pada era Menteri Keuangan Manmohan Singh tahun 1991. India kini sudah masuk tahap kedua strategi pembangunan ekonomi dengan menggunakan teknologi informasi (IT) sebagai basis pembangunan ekonominya.

Hampir seluruh pemain bisnis IT dunia sudah membuka usahanya di India, terutama di Bangalore. Tahun 2006, pendapatan dari IT India mencapai 36 miliar dollar AS. Malaysia, Thailand, dan Filipina juga beranjak ke produk-produk yang memiliki tingkat teknologi lebih kompleks dan bernilai tambah tinggi. Singapura dan Korsel mengarah ke teknologi informasi dan perancangan produk.

Pragmatisme

Bagaimana dengan Indonesia? Prinsip globalisasi adalah adanya pembagian kerja untuk mencapai efisiensi. Sinyalemen bahwa Indonesia dengan tenaga kerja melimpah dan upah buruh murah hanya kebagian industri ”peluh” (sweatshop) seperti pakaian jadi dan alas kaki dalam rantai kegiatan produksi global, terbukti sebagian besar benar.

China, India, dan Malaysia juga memulai dengan sweatshop, tetapi kemudian mampu meng-upgrade industrinya dengan cepat. Hal ini yang tidak terjadi di Indonesia. Kebijakan Indonesia menghadapi globalisasi sendiri selama ini lebih didasarkan pada sikap pragmatisme.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Hadi Soesastro (Globalization: Challenge for Indonesia) mengatakan, kebijakan pemerintah menghadapi globalisasi tidak didasarkan pada pertimbangan ideologis, tetapi lebih pada penilaian obyektif apa yang bisa dicapai negara-negara Asia Timur lain.

Apalagi, saat itu di antara negara-negara di kawasan Asia sendiri ada persaingan, berlomba untuk meliberalisasikan perekonomiannya agar lebih menarik bagi investasi global. Momentum ini didorong lagi oleh munculnya berbagai kesepakatan kerja sama ekonomi regional seperti AFTA dan APEC.

Pemerintah meyakini melalui liberalisasi pasar, industri dan perusahaan-perusahaan di Indonesia akan bisa menjadi kompetitif secara internasional. Sejak pertengahan tahun 1980-an, Indonesia sudah mulai meliberalisasikan dan menderegulasikan rezim perdagangan dan investasinya.

Selama periode 1986-1990, tidak kurang dari 20 paket kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi diluncurkan. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Timur yang memulai program liberalisasi ekonomi dengan liberalisasi rezim devisa.

Namun, dalam banyak kasus, paket kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mendorong sektor swasta waktu itu cenderung reaktif dan tak koheren serta diskriminatif karena sering kali tidak menyertakan kelompok atau sektor tertentu dari program deregulasi. Jadi, tidak mendorong terjadinya persaingan yang sehat.

Pengusaha tumbuh dan menggurita bukan karena ia efisien dan kompetitif, tetapi karena ia berhasil menguasai aset dan sumber daya ekonomi, akibat adanya privelese atau KKN dengan penguasa.

Kini Indonesia terkesan semakin gamang menghadapi globalisasi, terutama di tengah tekanan sentimen nasionalisme di dalam negeri. Di pihak pemerintah sendiri, karena menganggap sudah sukses melaksanakan tahap pertama liberalisasi (first-order adjustment) ekonomi, pemerintah cenderung menganggap sepele tantangan yang menunggu di depan mata.

Ini tercermin dari sikap taken for granted dan cenderung berpikir pendek. Padahal, tantangan akan semakin berat dan kompleks sejalan dengan semakin dalamnya integrasi internasional. Belum jelas bagaimana perekonomian dan bangsa ini menghadapi kompetisi lebih besar yang tidak bisa lagi dibendung.

Jika China yang the world’s factory dan India yang kini menjadi surga outsourcing IT dunia berebut menjadi pusat inovasi dunia, manufacture hub, atau mimpi-mimpi lain, Indonesia sampai saat ini belum berani mencanangkan menjadi apa pun atau mengambil peran apa pun di masa depan. Jika Indonesia sendiri tak mampu memberdayakan dan menolong dirinya serta membiarkan diri tergilas arus globalisasi, selamanya bangsa ini hanya akan menjadi tukang jahit dan buruh.

Menurut seorang panelis, yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2030 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan berdaya sebagai pemenang dalam globalisasi.

10 Rahasia Sukses Orang Jepang

1. Kerja Keras

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan.

2. Malu

Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

3. Hidup Hemat

Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00.

4. Loyalitas

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan.

5. Inovasi

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah.

6. Pantang Menyerah

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia . Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki , disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo . Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen) . Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh tentang ini

7. Budaya Baca

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya pernah membahas masalah komik pendidikan di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institute penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.

8. Kerjasama Kelompok


Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok” . Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “rin-gi” adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “rin-gi”.

9. Mandiri


Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang paling gede sempat merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka “meminjam” uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.

10. Jaga Tradisi & Menghormati Orang Tua

Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini.

Budaya minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan.

Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena “hai” belum tentu “ya” bagi orang Jepang Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Indonesia Panggung Sandiwara

Drama berupa teks untuk dibaca, sedangkan sandiwara boleh pakai teks boleh tidak, tetapi harus dimainkan. Dengan demikian, sandiwara memerlukan pemain, panggung, dan penonton.

Contoh sandiwara tidak perlu dicari ke zaman Dardanela, Dr Abu Hanifah, atau Usmar Ismail, cukup di Indonesia kini.

Konon, etimologi sandiwara adalah sandi (tersamar) dan warah (ajaran) karena itu berfungsi untuk mendidik dan memberi pencerahan melalui hiburan. Kini, sandiwara sudah jarang, kebanyakan sudah berubah menjadi film atau sinetron. Para pemainnya pun bukan lagi ”anak panggung” atau dalam istilah populer dulu ”anak wayang,” tetapi bintang film dan bintang sinetron.

Rata-rata bintang ini kaya, berpenampilan menarik, dan terkenal. Kehidupan mereka serba gemerlap. Karena itu, mereka dinamakan selebriti, yaitu orang- orang terkenal, selalu menarik perhatian, dan selalu berpenampilan mewah.

Kendati sandiwara dalam arti sebenarnya mempunyai tujuan luhur, kebanyakan anak wayangnya dianggap tidak bermoral. Mereka suka pelesir, judi, minum, dan banyak berbuat maksiat lain.

Dengan demikian, harus dipisahkan antara fungsi sandiwara dan kehidupan anak wayangnya. Fungsi sandiwara luhur, tetapi menurut pandangan umum, para anak wayangnya tidak berbudi luhur. Apapun yang terjadi pada anak wayang dan selebriti, mereka mau tidak mau dituntut mempunyai kemampuan akting, kemampuan berpura-pura.

Kini, para pemain tak lain adalah para pembesar politik di negeri ini, panggung sandiwaranya adalah tanah air Indonesia dan penontonnya adalah rakyat jelata. Pemain, sekali lagi, harus pandai akting dan hidup mewah. Mereka harus pandai berpura-pura, katakanlah, berpura-pura sedih dan menangis, padahal dalam hatinya bersorak-sorak gembira. Tentu saja mereka harus hidup bergaya flamboyan, senang pelesir, termasuk ke luar negeri, dengan alasan yang dapat dibuat-buat.

Simaklah

Coba simak pemandangan saat Presiden Soeharto hampir jatuh akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998. Bagai pemain sandiwara, sejumlah tokoh dan konglomerat menyumbangkan emas serta batu mulia kepada pemerintah. Dalihnya, untuk menyejahterakan rakyat karena saat itu krisis ekonomi benar-benar sedang mengganas. Di depan media, akting mereka meyakinkan sehingga penonton, khususnya yang bodoh atau terlalu baik hati, menganggap mereka adalah manusia berjiwa agung, tanpa mempertanyakan dari mana asal- usul harta karun itu.

Jangan heran saat itu kebanyakan rakyat bodoh sebab jika tak bodoh atau pura-pura bodoh, keselamatannya bisa terancam. Tengok pula kisah seorang wanita yang saat itu tampak sombong karena berani mencalonkan diri menjadi calon presiden. Dia terlalu berani, berlagak tidak bodoh. Akibatnya, nasibnya menjadi jelek, begitu pula nasib suaminya.

Setelah masyarakat katanya memasuki proses/demokrasi sejak Reformasi 1998, para pemimpin mendadak menjadi pemain-pemain yang aktingnya bagus. Simak lagak para politikus yang merasa berjasa sebab tanpa mereka, pikirnya, reformasi tak akan jalan. Lihatlah cara mereka berbicara, terutama jika disorot kamera. Wajah mereka bisa sekonyong-konyong sedih, sementara tangan mereka menunjuk ke sana-kemari, diangkat, dan diturunkan, diputar-putar, persis para selebriti di televisi. Mereka adalah para pemain sandiwara yang bagus.

Kini, ada lagi serangkaian sandiwara, khususnya dipertontonkan oleh para wakil rakyat. Mereka menerima uang dengan senang hati. Namun, setelah rakyat melalui pers, tanpa melalui DPR, mengkritik mereka dan menganggap mereka menerima uang haram dengan jalan menyusahkan rakyat, dengan lagak pahlawan kesiangan uang haram itu diserahkan kembali.

Di hadapan kamera, mereka berlagak seperti orang suci. Bicara mereka seolah- olah ingin memperjuangkan kepentingan rakyat. Tentu saja rakyat bertanya, ”Apakah kalau tidak diprotes, mereka juga akan berlagak suci?”

Pedagang kelontong

Dalam sejarah Paket Oktober 1988 (Pakto), sebagaimana dikisahkan oleh Kwik Kian Gie (Hura, David Sudah Tertangkap!, Kompas, 23/2001), permainan sandiwara juga amat merajalela. Barangsiapa mempunyai modal Rp 10 miliar, demikian menurut Pakto, dapat mendirikan bank. Untuk ukuran saat itu, Rp 10 miliar sebetulnya tidak banyak, apalagi latar belakang pemilik modal tidak dipertimbangkan. Akibatnya, kata Kwik Kian Gie, para pedagang kelontong pun mendirikan bank. Dasar mereka tidak mempunyai maksud baik, dana masyarakat lewat bank mereka pun digunakan untuk aneka keperluan tidak layak, lalu mereka bangkrut, dan pemerintah harus menutup kebangkrutan mereka, tentu dengan uang rakyat.

Dari sinilah muncul kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang konon menimbulkan kerugian amat besar bagi negara. Lalu, muncul sertifikat release and discharge dan bebaslah para pedagang kelontong itu setelah memenuhi syarat-syarat relatif ringan dibandingkan kerugian negara sebagai akibat ulah mereka. Permainan sandiwara para pedagang kelontong ini tentu saja amat diperlukan.

David Nusa Wijaya, bos sebuah bank yang amat merugikan negara, sebaliknya, tak mau berbuat manis-manis. Ia dihukum, melarikan diri, dan ditangkap. Maka, kata Kwik Kian Gie, ”Oh, David, seandainya dikau dulu rajin datang waktu dipanggil, lantas perilakumu sopan dan tutur bahasanya santun... sambil mesam-mesem mesum... engkau pasti akan bebas.” Salahnya, saat itu David tidak main sandiwara.

Pamer

Harap ingat, pamer bukan hanya semata pamer harta, tetapi juga pamer ilmu. Kalau tidak percaya, lihatlah itu para pemimpin, khususnya di daerah-daerah. Ternyata, bagai dalam permainan sulap, mereka sekonyong-konyong mempunyai banyak gelar akademik.

Para pemimpin itu, dengan demikian, benar-benar punya ilmu yang mantap. Bayangkan, dalam waktu singkat mereka punya gelar SH, MSi, MM, dan entah apa lagi, pokoknya banyak dan tampak hebat. Dalam konteks sandiwara, apa guna gelar jika tidak untuk dipamerkan?

Akibatnya, banyak pemimpin pandai, negara bobrok, karena kepandaian dalam arti sebenarnya tidak diperlukan, sementara yang mutlak diperlukan hanya kepandaian bersandiwara.

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme